Restrospective: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film.
Hangat.
Itu saja kata yang mampu menjelaskannya. Hangat. Seperti membuat mie instan di jam 2 pagi, selagi mengejar deadline penulisan cerita untuk kesekian kalinya. Hangat, seperti bertemu kembali dengan rekan lama yang penuh cerita, atau hidup di atas umur 40 tahun yang walau kacau, memiliki petualangan serta keasyikannya sendiri. Apakah hidup penuh luka, atau perasaan?
“Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” menyajikan hidangan hangat a la Yandy Laurens, dengan permainan teknis serta penulisan dialog yang tentu kreatif dan menghibur. Lucunya, semua ini berawal dari ke-kepoan akan beberapa trailer di Instagram sang sutradara. Oh, lebih awal lagi, sebenarnya semua ini berawal dari lagu milik Donne Maulana yang muncul di beranda YouTube. Bunyinya;
Cerita kita takkan seperti di layar-layar kaca
Gemas, romantis, tak masuk logika
Cerita kita ‘kan berjalan perlahan dan sederhana
Saling mengerti hanya lewat bicara
Lepas dan hangat
Bercinta lewat kata.
Dan, sebagai seseorang yang sangat mencintai dunia penulisan sejak dini — ya, love language ku sendiri adalah words of affirmation. Aku merasa kalau manusia perlu menulis cerita, prosa, puisi, opini, dan penelitian untuk menjadikannya hidup di dunia ini. Bila benar aku mengasihi seseorang, aku ingin menuliskannya secarik surat, dan memang benar tidak perlu heboh seperti di film-film romansa biasanya.
Hal lain yang aku sukai dari film ini adalah, sebenarnya seluruh adegan terjadi dalam kehidupan nyata setiap dari kita. Kasih tak sampai, luka yang tidak pernah selesai, dan kejutan-kejutan dalam kehidupan yang seringkali kita lupakan. Duka mendalam, hak untuk bahagia, dan bagaimana bumi akan tetap berputar bahkan selepas kita memutuskan untuk menyerah. “Hidup tidak bisa di-retake, tapi bisa dibuat sekuelnya.”
Yah, mungkin saja ceritaku bukan seperti film panjang yang menarik dari awal sampai akhir. Mungkin tokoh utamanya terlalu banyak masalah, terlalu banyak dendam dan amarah. Walau yang pasti, hidupku terasa seperti beberapa cerita pendek yang kacau, dan tetap saja bisa menjadi buku kalau dijahit menjadi serangkaian kisah manusia.
Produksi film, atau produksi apapun adalah hal yang rumit. Kita memiliki mimpi, ide awal. Dan selalu ambisinya egois — “Apa yang aku dapatkan dari hal ini?”
Padahal, cinta tidak boleh egois. Cinta itu mengerti, cinta itu pengertian. Cinta adalah hadiah, dan buket bunga yang kau terima setiap hari. Cinta bukanlah sesuatu yang membuatmu nyaman dengan kedukaan, dan bukan sesuatu yang membuatmu sengaja menyakiti dirimu berkali-kali. Beberapa kali aku membuka laptop dan enggan menulis, karena aku tahu, belum tentu semua tulisanku jujur dari hati.
Dalam kehidupan ini, kita bertemu dengan banyak orang. Entah kenangan apa yang terlewati, terlupakan, atau rasa benci seperti apa yang tidak pernah tersampaikan. Lalu satu per satu, nama akan berubah menjadi satu dua tahun luka dibandingkan dengan puluhan tahun kehidupan seseorang. Hidup tetap berlanjut setelah berkenalan. Hidup tetap berlanjut selepas perpisahan. Apakah cinta masih sama bila kau tau ujungnya?
Lalu suatu hari, kamu sadar kalau sebenarnya ambisimu tidak egois. Setiap manusia berhak memiliki visi dan mimpi. Berhak menunjukkan bahwa diri mereka tidak sempurna. Lalu, muncullah keinginan untuk mengontak seorang rekan atau teman dengan;
“Hei, aku punya proyek nih. Bisa minta tolong bantu, nggak?”
“Hei, aku punya cerita nih, pengen aku kembangin jadi film. Tertarik bantu, nggak?”
“Eh, aku kurang pede sama ideku.. boleh bantu ya?”
Dan teman-temanmu akan setuju. Satu mimpi membuat satu kelompok. Mungkin perjalannya tidak terlalu sempurna. Pembuatan suatu film membutuhkan banyak sekali waktu, dana, dan energi. Banyak sekali konflik, ketidakdewasaan, emosi yang terkuras. Kendala teknis, cuaca, dan mimpi. Tidak semua orang bermimpi dengan cara yang sama. Di dunia kerja, banyak tujuan busuk dan berbeda. Tidak boleh memercayai semua orang.
Tapi, apakah cinta harus seperti itu?
Bagus, sang tokoh utama, jatuh cinta kepada Hana, sebuah bunga yang tumbuh di hatinya yang sudah lama gersang. Tapi, kondisi mereka jauh dari ideal. Mereka berdua adalah orang dewasa yang menyimpang luka lama. Tidak bisa jatuh cinta lagi. Satu mengejar ambisi, satu mengejar arah. Tapi, film ini membungkusnya dengan sangat pintar, sinematik, serta komedik. Banyak sekali referensi-referensi akan Charles Kaufmann dan beberapa Pop Culture lainnya.
Saat pertama kali Bagus menjelaskan kepada produsernya bahwa ia akan membuat film hitam putih, dan seketika format teknis filmnya turut menjadi hitam-putih, aspect ratio turut memanjang menjadi 21:9, lalu setiap adegan tereksekusi sebagaimana seorang penulis menaruh hatinya pada sebuah cerita. Penuh semangat, tanpa tekanan, hanya ide, ide, ide. Adegan sepintar dan senakal itu cukup menjadi hook -ku untuk akhirnya menonton film itu.
Orang Indonesia suka film. Suka sinema, suka bioskop. Pada belum berani ngide saja.
Aku suka sinema. Aku suka film. Aku suka bercerita. Aku suka jatuh cinta.
Dan, menurutku, “Jatuh Cinta seperti di Film-Film” bukanlah film mengenai jatuh cinta.
Tapi, the film is love itself.
It’s just love.
Babak per babak, penulisan skenario, dan pelajaran untuk bercinta lewat kata. Meminta maaf, menjadi lebih jujur setiap harinya, menikmati kekacauan, dan untuk bangkit dari luka.
Duduk di bioskop, tertawa di bawah hujan yang mengguyur. Bercakap di atas atap, bawa motor ke tengah hutan di tengah malam. Menyusuri berbagai pulau di atas papan kayu, jurit malam. Tertawa bersama teman, menjalin persahabatan yang tidak harus selalu tanya kabar, mendoakan dari jauh. Hubungan antar manusia, kekecewaan, keinginan untuk menyerah. Bintang di langit malam, berlarian di bandara, menangisi kegagalan-kegagalan di dalam hidup. Berbagai bencana, memutuskan hubungan. Tidak ingin berkenalan lagi, sakit hati, kekecewaan, perasaan berdosa. Ngebut di jalanan, keinginan untuk menyerah, berkenalan. Membuat akun media sosial, menghapus akun media sosial, mengurung diri berbulan-bulan di dalam kamar karena takut menghadapi diri dan dunia. Duduk di bioskop, tertawa di bawah hujan yang mengguyur. Menghitung kemungkinan, menghitung kesempatan, menampar teman sendiri, menangis di malam hari, mencoba depot di pinggir jalan, kabur dari rumah, merasa telah mengecewakan keluarga, dan jatuh cinta seperti di film-film.
Seperti memberikan bunga untuk mereka yang sudah pergi;
“Terima kasih, karena kamu sudah mengajariku bagaimana harus mencintai kehidupan. Semoga di perjalananmu yang selanjutnya, kamu selalu ingat, bahwa cerita kita takkan seperti di layar-layar kaca.”
10/10.
—